Selasa, 12 Juni 2012

Livor Mortis - Resensi


Judul Buku      : Livor Mortis
Penulis             : Deasylawati P
Penerbit           : Indiva
Halaman          : -
Tahun Terbit    : 2011
Harga Buku     : -
Livor Mortis, Sebuah Tragedi dalam Dunia Kesehatan
Livor Mortis
A Novel By: Deasylawati P.

Tujuan utama hingga akhirnya buku ini diterbitkan adalah tentang fakta-fakta yang terjadi di kehidupan sehari-hari di masyarakat saat ini yang sangat membutuhkan fasilitas kesehatan yang memadai sebagai harapan agar sakit yang mereka derita dapat segera sembuh dengan bantuan para dokter yang mempunyai rasa kasih dan sedikit hati nurani untuk sekedar membantu proses penyembuhan.
Pada kenyataannya saat ini ternyata uang lebih berperan penting dan bersuara lebih keras membahana ke telinga sang ahli dalam bidang kedokteran ketimbang jeritan  rintih kesakitan pasien yang menderita karna sakitnya namun apa daya ternyata uangnya tak memiliki suara cukup keras yang berasal dari kantongnya yang berakhir dengan kematian.
Buku ini insya Allah dapat bermanfaat untuk menyadarkan dan membuka mata setiap manusia bahwa kesehatan itu harganya sangat mahal sehingga kita dapat semaksimal mungkin berusaha untuk menjaga kesehatan dan kita juga dapat sadar bahwa nyawa lebih penting ketimbang uang dan egoisme akan harta kekayaan.

Demikian cuplikan isi buku “Livor Mortis” / sinopsis :
Dengan perasaan takut disertai ngeri, Fatiya menaikkan kaos usang Pak Karto, memiringkan tubuh gemuknya yang tak wajar. Rasanya seperti membalikkan sebuah papan. Orang-orang mengawasinya. Fatiya menarik napasnya, melihat pada punggung pria malang yang tak ada penunggunya itu. Dan … itu dia ….
Salah satu tanda pasti kematian, yang jelas memastikan bahwa seseorang memang benar-benar telah mati. Pergi meninggalkan dunia ini. Meninggalkan jasadnya yang menjadi kaku tanpa arti. Livor mortis. Tanda lebam pada mayat yang akan menunjukkan posisi mayat ketika meninggal. Tanda merah keuguan itu timbul karena penumpukan cairan darah pada area yang terletak di bawah dari mayat, mengikuti gravitasi. Tanda yang akan menetap setelah lebih dari delapan jam ....
Seorang perawat fresh graduate mengalami konflik yang berkepanjangan pada awal masa kerjanya di sebuah institusi kesehatan. Ia orang yang sangat teguh berpegang pada prinsip-prinsip hidupnya, sementara berbagai hal yang terjadi di lingkungan kerjanya terkadang begitu bertolak belakang dengan prinsip yang dipegangnya. Di rumah sakit itulah ia bertemu dengan Sukarto, salah satu kaum papa yang mengharap bisa mendapatkan pelayanan kesehatan untuk menangani penyakitnya yang semakin parah. Malang baginya, bukannya semakin pulih kondisinya, justru kematian yang menjemputnya. Kasus kematiannya, yang tidak diketahui oleh perawat yang jaga saat itu, di-blow up oleh salah satu keluarga pasien yang merasa ‘dikecewakan’ oleh pihak rumah sakit. Rumah sakit pun merasa kebakaran jenggot, dan khawatir ‘kasus-kasus lain’ yang telah dipeti-es-kan ikut terkuak.
Ini adalah sebuah novel yang diilhami dari fakta-fakta yang terjadi di sebuah institusi kesehatan. Telah banyak pihak yang merasa dirugikan, namun kebanyakan berasal dari kalangan orang yang tidak mampu sehingga mereka tetap bungkam. Adapun yang lebih terpelajar, berusaha menggugat. Meskipun tahu bahwa ia hanyalah seekor semut yang menantang gajah. Tak banyak hal yang akan berubah. Hukum rimba berlaku leluasa di negeri ini. Siapa yang kuat dialah sang raja. Siapa berkuasa dialah pemenangnya. Tak peduli di mana pun areanya. Tak peduli apakah itu menyangkut nyawa manusia. Yang masih punya hati tersingkiri. Yang mempertahankan nurani menjadi orang-orang yang ditertawai. Dunia ini adalah sebuah panggung, di mana semua arogansi menjadi mutlak demi mendapatkan materi.

Novel berjudul Livor Mortis ini bercerita tentang fenomena diskriminasi sosial yang terjadi dalam institusi kesehatan. Mungkin bukan hal yang istimewa membicarakan diskriminasi sosial di sekitar kita, sudah begitu umum, bahkan seolah wajar-wajar saja terjadi. Mulai dari angkutan umum hingga ke instansi-instansi. Siapa punya duit, dia yang lebih cepat dilayani dan lebih dihargai. Maka terciptalah ‘kelas-kelas layanan’ yang siapapun pasti tahu. Mulai dari yang ekonomi, bisnis, hingga eksekutif. Pelayanan dan fasilitas akan disesuaikan dengan ‘berapa banyak si peminta fasilitas mampu membayar’. Tak hanya di negeri kita tercinta ini, tapi juga di luar negeri.
Akan tetapi, fenomena diskriminasi sosial yang terjadi dalam institusi kesehatan memang sungguh merupakan sebuah ironi. Di tengah himpitan cobaan yang mendera orang-orang sakit, mereka masih harus menerima perlakuan yang berbeda dari si pemberi fasilitas kesehatan, hanya karena mereka tak punya. Hanya karena mereka tak mampu membayar lebih untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik. Ironis sekali ketika diskriminasi semacam ini berhubungan dengan nyawa manusia!?
Melalui novel ini, penulis berharap bisa menyentuh nurani pembaca. Berharap bisa membuka hati siapapun yang pernah mengalami situasi yang sama. Bahwa nyawa manusia bukanlah mainan yang bisa dihargai dengan materi. Mungkin terlalu idealis bagi sebagian orang, tapi ada baiknya melakukan ‘sesuatu’ untuk merubah paradigma pelayanan beberapa instansi kesehatan yang masih juga menunjukkan diskriminasi sosial. Semoga novel ini bisa memberikan manfaat yang diharapkan.

Semoga melalui novel ini akan hadir banyak orang yang tergerak untuk menjadi pemilik buku ini agar menjadi orang yang sadar tentang pentingnya kesehatan dalam sebuah jiwa serta tidak mendiskriminasi kepentingan hidup manusia sehingga menggadaikan hati nurani dam memilih mengorbankan nyawa orang yang seharusnya memerlukan pertolongan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar