“Aku Ingin Ibu dan Adik ku Selamat”
Ketika
aku duduk di bangku kelas 2 SMP, pada saat itu ibuku tengah mengandung 7 bulan
ketika itu ayah ku tidak ada di rumah untuk waktu yang cukup lama karena
sesuatu hal yang tidak bisa di ceritakan hingga terjadi hal lain yang tidak di
inginkan ketika jam 03:00 dini hari pada
tanggal 25 Desember 2006 aku terbangun karena mendengar rintihan ibuku yang
merasa kesakitan, saat aku menghampiri ibuku di kamarnya, ia tergeletak tak
berdaya dengan lumuran darah di kamar dan kasurnya membuat aku panik dan bergegas memberitahukan
kepada tetangga sekitar agar dapat membantu ibuku yang sedang mengalami pendarahan
hebat yang tak kunjung berhenti. Waktu sudah menunjukan jam 04:30 namun aku dan
ibu ku harus menunggu setengah jam lagi untuk menunggu tukang ojeg yang akan
mengantarkan kami pada bidan terdekat karna rumah kami terletak cukup pelosok
sehingga untuk menempuh jarak menuju jalan raya pun sangat jauh.
Tukang
ojeg yang kami tunggu pun akhirnya datang juga dan aku segera mengantarkan ibu
menuju Bidan Neneng yaitu bidan terdekat dari tempat tinggal kami. Menunggu
berjam-jam penuh kesabaran tanpa di temani ayah disisiku dan ibu yang sedang
berjuang antara hidup atau mati untuk mempertahankan adikku yang masih berada
di dalam kandungaannya, selama menunggu aku hanya dapat berdo’a semoga saja ibu
dan adik ku dapat selamat dan dalam keadaan sehat. Aku masih belum diizinkan
menghirup nafas lega, tiba-tiba bidan meminta ku untuk mengambil berkas-berkas ASKESKIN
/ GAKIN ( berkas tanda keluarga miskin), kemudian aku menanyakan dimana berkas
itu di simpan oleh ibuku lalu aku bergegas mengambil apa yang telah di
intruksikan ke rumah dengan di antar oleh tukang ojeg dan sesegera mungkin
kembali untuk menyerahkan berkas itu pada ibu dan membawa perlengkapan
melahirkan seperti kain, popok, baju bayi, dll.
Akhirnya
aku tau ternyata bidan tidak sanggup menangani ibu ku karena ia bilang ibuku
harus di operasi di rumah sakit dan beliau hanya bisa membantu membuat surat
rujukan ke rumah sakit terdekat di Purwakarta, dengan penuh perjuangan aku
menahan badan ibu agar tidak terjatuh dari motor ojeg yang kami tumpangi untuk
menuju jalan raya, ternyata perjuangan ku belum selesai, sambil membawa barang
bawaan dan berkas-berkas, aku pun mesti memapah ibu ku untuk menunggu angkutan
kota ke tempat yang lebih teduh, dengan penuh kepolosan pada waktu itu aku
nyaris menyerah dan menangis untuk menghentikan satu saja angkutan kota agar
bisa membawa kami menuju rumah sakit yang menjadi rujukan Bidan Neneng, namun
aku tak mau membuat ibu sedih melihat aku patah semangat sehingga akhirnya
perjuangan ku tidak sia-sia akhirnya ada supir angkutan kota yang mau berbaik
hati mengangkut kami sebagai penumpang bahkan di antarkan sampai ke tempat
tujuan di depan rumah sakit di Purwakarta karena mengetahui keadaan ibuku yang
sangat memprihatinkan, setibanya di rumah sakit para perawat laki-laki bergegas
membawa ibu ke ruang perawatan dan salah satu dari mereka bertanya pada ku,
“adik mana ayahnya?, tolong kasih tau ayahnya untuk segera meregistrasikan agar
ibunya adik dapat segera di tangani oleh dokter” jelas seorang perawat namun ia
tak mendapat jawaban apapun dari ku karena hanya hati ku yang berbicara, “Ya
Allah Elsa hanya punya uang Rp.36.000, mudahkanlah
pertolongan mu agar ibuku segera di tangani dokter” do’a ku penuh harap. “adik
kenapa?” tanya salah satu perawat laki-laki yang iba kepadaku sehingga aku
memberanikan diri untuk membuka suara,”Pak saya di suruh bidan untuk bawa
barang-barang ini dan berkas ini, tapi tadi kata perawat saya suruh registrasi
tapi saya tidak punya uang pak” jawab kusambil membendung air mata yang nyaris
tumpah. “ Adik datang aja ke sana kemudian kasih berkas – berkas ini dan minta
tolong pada ibu atau bapak di sana untuk meregistrasikannya,,,” jelas bapak
perawat yang baik itu, sehingga ibuku bisa di tangani dokter dengan segera. Kini
aku berharap ibu dan adik ku dapat selamat dan di tangani di sini.
Menunggu
memang hal yang sangat menyebalkan namun aku akan tetap setia menunggu untuk ibu
dan adikku, meski jujur ini pertama kalinya aku kerumah sakit tanpa di temani
siapa-siapa karna hanya aku dan ibu sehingga aku harus belajar untuk menjadi
anak yang dewasa untuk mengatur segala sesuatunya, besyukur semuanya begitu terasa
mudah karna Allah, “ Dik, kamu di panggil ibu mu, temanilah ibumu di ruang
bersalin” panggil dokter menitah aku masuk kedalam ruang bersalin.”ibu belum
melahirkan?, ibu baik-baik saja? Adik gimana bu keadaannya kata dokter?”
pertanyaan bertubu-tubi yang muncul akibat kekhawatiraan ku kepada keduanya
karna rasa sanyangku. “ ibu dan adik baik - baik saja kata dokter, ibu minta tolong
sama elsa ya, dokter bilang ibu harus di operasi di rumah sakit besar di
bandung karena di sini ruang operasinya sedang diperbaharui. Kamu kabari om di
rumah kalau untuk ke bandung rumah sakit menyediakan ambulans dengan biaya 1
juta rupiah dan segera mungkin kembali kesini ya, ibu percaya kamu nak, hati-hati
di jalan ya nak, maafkan ibu” jelas ibu panjang lebar dan aku dengan sigap
mengingat semua perkataan ibu dan kembali ke rumah untuk kabari om di rumah (om
adalah adik ibu yang tinggal tidak jauh dari rumah).
Semuanya
terjadi begitu cepat, ada tetangga yang berbaik hati bersedia meminjamkan
mobilnya agar ibu bisa di bawa ke rumah sakit besar di bandung, sesampainya di
rumah sakit entah apa yang terjadi ternyata rumah sakit menyediakan ambulans
secara gratis untuk ibuku, sehingga kami bisa sesegera mungkin pergi menuju
kota kembang. Tiba di rumah sakit besar ini aku terkagum melihat besar dan
megahnya bangunan juga bingung hingga sampai aku di ruang bersalin bersama ibu,
aku duduk di depan ruang bersalin bersama banyak orang yang menunggu salah
seorang dari 10 ibu hamil yang akan melahirkan hari itu, diam termenung dalam
lamunan yang membawa aku dalam buaian rasa iri melihat di sekelilingku penuh
dengan orang-orang yang menantikan kelahiran bayi dengan penuh harap cemas,
sedang aku Sendiri di Rumah Sakit sebesar ini dan menatap jam dinding besar
yang menunjukan pukul 08:55. ”Elsa lelah”desah ku pelan.
“keluarga
dari ibu Siti Maesaroh” panggil suster yang keluar dari ruang bersalin, “ya
suster saya anak nya” jawab ku dengan lemas karena seharian belum makan dan
nyaris kehabisan energi, “ayah mu mana dik?” tanya suster, “gak ada suster”
jawab ku lemas, “sanak saudara” tegasnya kembali, dan suster hanya mendapat
gelengan kepala dari ku yang membuatnya tiba-tiba memelukku. “Suster tolong cepat,
ibu siti maesaroh harus segera di persiapkan ke ruang operasi, kamu ambilah sana
darah golongan B ke bank darah dekat receptionist dan bawa berkas mu ini kesana kemudian kamu segera kembali karna ibu
mu akan segera di operasi” jelas sang dokter dengan wajah tak ramah.
Aku
bergegas menuju bank darah meski aku tidak tahu, aku berusaha menanyakan pada
semua orang yang aku jumpai di lorong tumah sakit, sesampainya di bank darah
aku tidak bisa mengambil darah golongan B yang di minta oleh dokter karna persoalan
keuangan dan hanya memakai kartu tanda GAKIN (Keluarga Miskin). Dengan kecewa dan
deraian air mata aku berlari pontang panting ke ruang bersalin sambil mengusap
air mataku dan mencoba menghentikan air mataku dan berjalan pelan ketika akan
sampai di ruang bersalin. Di depan ruang bersalin ada suster yang menunggu ku
sambil menggendong bayi yang di tutupi oleh sehelai kain, di luar ruang
bersalin nampak ramai dengan semua orang yang menatapku dengan wajah aneh penuh
iba, “ ibu sudah melahirkan suster, ini adikku? Dia selamat kan suster” tanyaku
penuh harap, kemudian aku mendapatkan jawaban memilukan yang ku dengar dari
segala penjuru manusia yang mengelilingi ku dan mengusap pundak ku dengan rasa
kasihan hingga Kristal beningpun meleleh dan membanjiri pelupuk mataku,
“innalillahi
wa inna ilaihi rajiun” rintih ku perlahan.
“sabar
ya nak”, “yang sabar ya dik”, “yang kuat ya dek”, “malangnya nasib mu nak”,
bisikan-bisikan dari orang – orang di sekelilingku. Aku meraih adikku untuk aku
gendong dengan deraian air mata yang tak berhenti mengalir, dan suster
mengantar ku menuju ruang penimbangan bayi yang cukup jauh dari tempat
bersalin, di sepanjang lorong rumah sakit semua mata tertuju pada ku penuh iba
hingga aku sampai di ruang penimbangan
bayi. Di ruang penimbangan bayi ada dua anak laki-laki yang juga baru lahir.
Aku menatap salah satunya sambil berangan seandainya saja adikku yang selamat,
“Ya Allah berikan tempat yang terindah untuk adikku ini jika memang disisi mu
ia lebih bahagia” do’aku penuh tulus untuk adikku yang begitu ku nantikan. “dek
adiknya mau di makamkan di mana?” tanya dokter wanita yang ada di ruangan
penimbang bayi, “di Cikopo – Purwakarta bu” jawabku. “oh ya tinggal kabari
keluarganya saja untuk menyiapkan sejumlah uang untuk menyewa ambulans sebesar
1,5 juta” terang dokter kembali, “tapi dok saya tidak punya uang” terang ku
berharap ada solusi yang lebih baik,” ya sudah antarkan saja dulu adik mu ini
ke ruang jenazah, oh ya ini saya punya kardus kopi, kamu bisa pakai untuk
mengirim paket jenazah adikmu jika memang kamu tidak punya uang biayanya jauh
lebih murah hanya 300 ribu” jelas sang dokter yang terlihat ingin aku segera
enyah dari hadapannya, hal yang paling perih adalah kardus kopi ini yang
membuat aku berfikir dimanakah letak hati nurani dokter perempuan itu, dia juga
adalah seorang ibu dan perempuan tapi begitu teganya memberikan solusi yang
tidak manusiawi meski adik ku masih bayi dan tengah meninggal namun bagi ku
tetap ia adalah manusia,”semoga dokter itu di beri kesadaran” Do’aku di
hati ketika membuang kerdus kopi itu
sambil menangis.
Aku
tidur di lantai di samping tempat tidur ibu ku di ruang rawat dengan beralaskan
tikar dan pada saat jam menunjukan pukul 05.00 pagi aku terbangun oleh basahnya
lap pel dan pukulan ringan di wajah dari orang yang akan membersihkan ruang
rawat ibu melahirkan, aku terbangun dan bergegas keluar dan bersandar di tembok
rumah sakit yang berwarna kekuningan perlahan aku tersungkur dan memeluk kaki
ku sembunyi dan menangis meratapi kejamnya perilaku manusia yang memandang
sebelah mata orang-orang yang tidak bertahtakan harta di saksikan rembulan yang
enggan pergi dan ikut bersedih dan awan hitam kemerahan yang akan berubah jadi
biru namun enggan pergi dengan segera untuk menemaniku dalam balutan kesedihan
yang begitu dalam.
Yang
lebih menyedihkannya lagi ibuku tau kejadian pagi itu dan memeluku ketika pagi
menjelang saat aku mengantarkan sarapan untuknya, ia memeluku dengan erat dan
berkata “maafkan ibu nak kamu harus mengalami hal yang menyedihkan dan sepahit
ini, wajahmu sakit ya nak?, kamu udah sarapan nak?” aku hanya bisa menangis
dalam pelukan ibu dan berbisik dalam hati, “Aku sayang ibu, dan aku hanya ingin
ibu dan adik selamat”, aku mendapatkan
semuanya jawaban dari do’aku ibu yang kembali sehat dan adik yang tengah
bahagia di tempat yang indah di sisi Allah SWT.
Dari
sepenggal cerita ini saya hanya ingin menyampaikan pesan kepada semua dokter
dimana pun berada agar tetap melayani pasien dengan baik, dengan ada atau pun
tanpa uang, karena semua orang membutuhkan pertolongan, bukan hanya si kaya
tapi si miskin pun butuh uluran tangan dokter-dokter yang berjiwa besar,
memiliki hati nurani dan jiwa yang manusiawi. Dengan harapan agar tidak ada
lagi orang-orang yang mengalami hal seperti saya atau bahkan lebih menyedihkan
lagi. Berilah pertolongan kalian meski hanya sedikit namun itu begitu berarti
karna kita semua manusia yang memiliki derajad yang sama kecuali amal ibadahnya
di mata Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar